Sunday, 30 October 2016

Kelas XII Bab 5 HUKUM ISLAM Tentang Hukum Keluarga



Bab 5 HUKUM ISLAM Tentang Hukum Keluarga

A.    KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN

1.      Pengertian Munakahat

Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar dari pernikahan adalah nikah. Kata nikah mempunyai persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dan seseorang perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga ( rumah tangga) bahagia, yang diridhoi allah SWT.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh nabi muhammad SAW atau sunah rosul. Dalam hal ini disebutkan dalam hadist rasulullah SAW yang artinya, “Dari  Anas bin malik r.a.,bahwasanya nabi muhammad memuji allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda, ‘ akan tetapi aku salat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka dia bukanlah dari golonganku.” (H.R. Bukhari dan Muslim )
2.      Hukum Nikah
Menurut sebagian besar ulama,hukum nikah pada dasarnya adalah mubah,artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Jika dikerjakan tidak mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Meskipun dmikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan,  hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram, penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.       Sunah
Bagi orang yang ingin  menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalik.an diri dari perzinaan-walaupun tidak segera menikah-maka hukum nikah sunah. Rasulullah  bersabda, “wahai para pemuda, jika diantara kamu memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu  menjaga pandangan mata dan lebih memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah , hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga hatinya. “(H.R. Bukhari dan Muslim).
b.      Wajib
Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.
c.       Makruh
Bagi orang yang mau menikah, tapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah makruh.
d.      Haram
Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi kama hukumnya itu adalah haram.
3.      Tujuan pernikahan
Secara umum, tujuan pernikahan menurut islam adalah untuk memenuhi hajat manusia  (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama islam. Apabila tujuan pernikahan yang bersifat umum itu diiuraikan secara terperinci, tujuan pernikahan yang islami dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang. Allah SWT berfirman

Artinya:  dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

b.      Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat. Allah swt ( al kahfi46)

Artinya: harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

c.       Untuk mewujudkan keluarga bahagia didunia dan diakhirat.
d.      Untuk memenihi kebutuhan seksual (berahi) secara sah dan diridhai Allah

4.     Rukun nikah
Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut ada lima macam akni sebagai berikut:
1)      Ada calon suami ,dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa(19 tahun), beragaama islam, tiak terpaksa, atau dipaksa, tidak sedang dalam ihram dalam haji, dan bukan calon istrinya.
2)      Ada calon isrti, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur(16 tahun); bukan perempuan musyrik, tdak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahrom bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh.
3)      Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki –laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya.
Wali nikah dapat dibagi menjadi dua macam:
1.      Wali nasab yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan.
2.      Wali hakim yaitu kepala negara yang beragama islam. Di indonesia, wewenang  presiden dilimpahkan kepada pembantunya yaitu menti agama. Kemudian menteri agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim yaitu kepala kantor kepala urusan agama islam yang ada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah, jika nasab tidak ada atau tidak bisa memenuhi tugasnya.

Syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
§  Beragama islam orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali nikah.
§  Laki-laki.
§  Balig dan berakal.
§  Merdeka dan bukan hamba sahaya.
§  Bersifat adil.
§  Tidak sedang ihram haji atau umroh.

3.      Ada dua saksi. Dua orang saksi ini syaratnya harus beragama islam, laki-laki balig( dewasa) dan berakal sehat, dapat mendengar , dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang )dalam ihram haji atau umroh.
4.      Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah ucapan wali ( dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberi mas kawin ( mahar) kepada istrinya, karena merupakan syarat nikah, tetapi mengucapkanya dalam akad nikah hukumnya sunah. Suruhan untuk memberikan mas kawin terdapat dalam al-qur’an(an-nisak 4).

Menghadiri walimah bagi yang diundang hukumnya wajib, kecuali kalau ada udzur ( halangan) seperti sakit. Rasulullah SAW bersabda: yang artinya “ orang yang sengaja tidak megabulkan undangan walimah berarti durhaka kepada allah dan rasul-Nya.”(H.R. Muslim)

5.      Muhrim
Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi.  Adapun penyebab seseorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
1)      Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
    1. Ibu kandung dan seterusnya keatas(nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
    2. Anak perempuan kandung dan seterusnya kebawah(cucu dan seterusnya).
    3. Saudara perempuan ( sekandung, sebapak atau seibu).
    4. Saudara perempuan dari bapak.
    5. Saudara perempuan dari ibu.
    6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
    7. Anak perempuan dari saudara perempuan perempuan dan seterusnya kebawah.
    8. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
    9. Ibu yang menyusui.
    10. Saudara perempuan yang sesusuan.
    11. Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
    12. Ibu dari istri( mertua).
    13. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
    14. Ibu tiri(istri dari ayah ), baik sudah cerai atau belum. Allah SWT berfirman yang artinya, “ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayahmu.”(Q.S. An-nisa’4:22)
    15. Menantu(istri dari anak laki-laki), baik sudah cerai maupun belum.

Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami(memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakanya. Mengenai wanita- wanita yang haram dinikahi(muhrim) telah difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’4:23.
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

6.      Kewajiban suami dan istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami-istri harus melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah semata. Allah SWT berfirman artinya, “kaum lakilaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”(Q.S. An- Nisa’4:34)

Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya, suami adalah penanggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan(H.R Bukhari Muslim)
Secara umum kewajiban suami-istri adalah sebagai berikut:
1.      Kewajiban suami
§  Memberi nafkah,sandang, pangan,dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal.(lihat Q.S. At-Talaq, 95)

Artinya: atau Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar.

§  Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak,agar menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga,agama, masyarakat, serta bangsa dan negaranya.
§  Bergaul dengan istri dan anak-anak dengan baik (makruf).
§  Memelihara istri dan anak-anak dari bencana, baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrawi.
§  Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh. Allah SWT berfirma
yang artinya, ‘hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.’(Q.S. At-Tahrim,66:6)

2.      Kewajiban istri
a.       Taat kepada suami dalam batas –batas yang sesuai dengan ajaran agama islam. Adapun suruhan suami yang bertentangan dengan ajaran agama islam tidak wajib ditaati.
b.      Memelihara diri sendiri serta kehormatan dan harta benda suami, baik dihadapan atau dibelakangnya.
c.       Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga.
d.      Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami, sesuai dengan kekuatandan kemampuannya, hemat,cermat,dan bijaksana.

Hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulu’,li’an, ila, dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1)      Talak
Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Asal hukum talak adalah makruh (sesuatu yang dibenci atau tidak disenagi). Hal ini sesuai penegasan Rasulullah SAW dalam hadisnya, sebagaimana telah dikemukakan.
Pada dasarnya, perceraian merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena dapat menimbulkan akibat-akibat yang negatif, terutama apabila suami dan istri yang bercerai itu sudah mempunyai anak. Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut: yang artinya:perbuatan yang halal, tetapi paling dibenci allah ialah talak.’’( H. R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Rasulullah SAW juga bersabda,’’setiap wanita (istri) yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, haramlah baginya wangi-wangian surga.” (H.R. Ashabus sunan kecuali An-Nasa’i) pada kondisi-kondisi tertentu, mungkin perceraian lebih baik dilakukan, karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan penderitaan, baik bagi istri maupun suami atau akan menyebabkan kedurhakaan kepada Allah SWT.
a.       Macam-macam talak
Talak itu bermacam –macam seperti berikut :
a)      Talak sunnah, yaitu suami menalak istri pada masa suci yang tidak digauli didalamnya. Jadi jika seseorang akan menalak istrinya karena mudarat tersebut tidak bisa dihilangkan, kecuali dengan talak, maka ia harus menunggu istrinya haid dan suci. Jika istrinya telah suci dan ia tidak menggaulinya pada masa suci tersebut maka pada saat itulah jatuh talak satu kepadanya misalnya dengan berkata kepadanya ,’’engkau aku ceraikan.’’
b)      Talak bid’ah, yaitu suami menalak istrinya ketika haid atau menjalani masa nifas, atau menalaknya dalam keadaan suci yang ia gauli didalamnya,atau menalaknya dalam talak tiga dengan satu ungkapan atau tiga ungkapan. Misalnya ia berkata’’ia aku ceraikan, ia aku ceraikan, ia aku ceraikan.’’ Rasulullah SAW. Memerintahkan abdullah bin umar r.a. yang telah menalak istrinya ketika rujuk kepadanya, kemudian setelah itu, ia boleh menahanya ( tidak menalak) atau menalak sebelum mengaulinya. Setelah itu rasulullah bersabda, itulah masa iddah yang diperintahkan allah swt. Dan denganya engkau menalak para istri.’’(H.R Muslim)
c)      Talak bai’in,yaitu suami yang menyeraikan tidak akan rujuk pada istrinya. Dengan jatuhnya talak tiga, maka apabila bekas suami ingin kembali dengan istri yang telah diceraikannya, maka ia dapat menerima dengan akad dan mahar baru.
d)     Talak raj’i, yaitu talak dimana suami berhak rujuk dengan istrinya meskipun istrinya tidak menghendaki(lihat QS Al baqarah: 228).

Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
e)      Talak kiasan ,yaitu talak yang memutuhkan niat talak karena ungkapan talaknya tidak jelas, misalnya suami berkata: “ pulanglah kerumah keluargamu, atau keluarlah dari rumah ini, atau engkau jangan berbicara denganku.’’ Demikian pula dengan ungkapan –ungkapan lainya yang tidak menjelaskan tentang talak atau maknanya.
f)        Talak sarih ( jelas) yaitu talak yang tidak membutuhkan niat talak yang sarih (jelas) misalnya suami berkata: ,’’engkau akan kuceraikan, atau engkau menjadi perempuan yang dicerai, atau aku telah menceraikanmu.’’
g)      Talak munjaz dan talak mu’alaf. Talak munjaz ialah ucapan menalak istri pada saat itu juga. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya, “engkau telah ditalak”. Maka istrinya menjadi perempuan yang ditalak saat itu juga. Adapun talak mu’alaf adalah talak yang dikaitkan dengan mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu.
h)      Talak dengan wakil dan tulisan. Apabila suami mewakilkan kepada seseorang untuk menalak istrinya, atau ia menulis surat yang menjelaskan bahwa ia menalaknya, kemudian ia mengirimkan kepada istrinya tersebut, maka istrinya menjadi perempuan yang ditalak.


b.      Rukun –rukun talak.
A.    Suami yang mukalaf. Oleh karena itu,selain suami yang mukalaf tidak boleh menjaatuhkan talak. Begitu juga jika suami  tidak berakal,tidak balig, atau tidak suka rela (dipaksa), maka talaknya tidak sah. Rasulullah saw bersabda, “pena diangkat dari dari tiga orang, orang yang tidur hingga dia bangun, anak kecil hingga mimpi (balig), dan orang gila yang tidak berakal.
B.     Istri yng diikat dengan ikatan pernikahan yang ang hakiki dengan suami menceraikanya. Rasulullah SAW Bersabda yang artinya adalah sebagai beikut; tidak ada nazar bagi seseoarng terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada pembebasan olehnya terhadap budak yang tidak dimilikinhya, dan tidak ada talak  bagimya terhadap istri yang tidak dimilikmya,’’( H.R. Turmudz dan hasan).

c.       Fasakh
Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami dan istri karena sebab –sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh agama , karena adanya pengaduan dari pihak istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan.
Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Namun kalau ia ingin menikahinya lagi harus dengan cara melalui akad nikah baru. Berbeda dengan khulu, fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak. Artinya walaupun  fasakh dilakukan lebih dari tiga kali , bekas suami istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya, harus menikah dulu dengan laki-laki lain.

d.      Khulu
Menurut bahasa khulu’ berarti tanggal. Dalam ilmu fikih khulu’adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin atau dengan memberikan sejumlah uang ( harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
Khulu’ dipekenankan dalaam islam, dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri, karena adanya tindakan –tindakan suami yang tidak wajar(umum) . allah SWT berfirman dalam surat al- baqarah, 2:229
Artinya; Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Akibat perceraian dengan cara khulu’ suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa iddah.  Akan tetapi, kalau bekas suami istri itu ingin kembali, harus melalui akad nikah baru.        
Berbeda dengan fasakhkhuluk, dapat memengaruhi bilangan talak. Artinya kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak(talak ba’in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masaiddah– nya.


e.       Li’an
Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina(karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat sumpah didepan hakim , dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, ‘’laknat(kutukan) allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhan itu dusta.
Apabila suami sudah menjatuhkan li’an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati.
Agar istri terlepas dari hukum rajam karena merasa tidak berzina, ia harus menolak tuduhan suaminya dengan menganggkat sumpah empat kali didepan hakim, dan pada kali kelimanya dia mengatakan,” laknat (kutukan) allah akan menimpa diriku apabila tuduhan tersebut benar.”
Sumpah suami istri seperti diatas, secara otomatis menyebabkan mereka bercerai serta tidak boleh rujuk atau menikah kembali untuk selana-lamanya. Bahkan, kalau setelah itu si istri hamil, anak tersebut tidak boleh diakui sebagai anak bekas suaminya. Ayat al-quran menjelaskan tentang li’an ini terdapat dalam surah (an-nur 24:6-10)
Artinya:. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).
Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li’an.
f.       Ila’
Ila’  berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama 4 bulan atau lebih atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami tersebut hendaknya ditunggu sampai 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, naka dia diwajibkan membayar denda ,sumpah (khafarat). 
 Akan tetapi, jika 4 bulan dia tidak kembali kapada istrinya,maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih diantara dua hal yaitu kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan pilihannya, hakum memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya tala’ ba’in sugra sehinnga ia tidak dapat rujuk kembali.
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang ila’ ialah surah Al-Baqarah,58:1-6
Artinya:  Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat . Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan. pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, Padahal mereka telah melupakannya. dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.

g.      ZIHAR
Zihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, “punggungmu sama dengan punggung ibu ku.” Jika suami mengucapkan kata tersebut, maka dan tidak melanjutkanya dan mentalak istrinya, wajib bagi nya membayar kafarat dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat di bayar.
Ayat yang menjelaskan tentang zihar ialah surat Al-Mujadalah,58: 1-6.
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan. Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, Padahal mereka telah melupakannya. dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.

h.      Iddah
Iddah berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk dibolehkan menikah lagi dengan laki-laki lain. Tujuan iddah antara lain untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak. Kalau ternyata hamil, maka anak yang dikandungnya berarti anak suami yang baru saja bercerai dengannya. Bagi suami yang mempunyai hak rujuk masa iddah merupakan masa untuk berfikir ulang, apakah ia akan kembali ( rujuk) pada istrinya atau mau meneruskan perceraianya.
Lama masa iddah adalah sebagai berikut:
1.      Iddah karena suami wafat
A.    Bagi istri yang tidak sedang hamil, baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum  wafat, masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al- Baqarah,2: 234.
B.     Bagi istri yang sedang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan. Ketentuan ini berdasarkan Al-Qur’an surah At-Talaq,65:4
C.     Iddah karena talak, fasak, dan khuluk

 Bagi istri yang belum campur dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, Tidak ada masa iddah  
a.       Bagi yang masih mengalami menstruasi, masa iddah-nya ialah tiga kali suci. Ketentuan itu berdasarkan Al-Qur’an surah Al-Baqarah;2:228.
b.      Bagi istri yang tidak mengalami menstruasi, , misalnya karena usia tua( menopause ), masa iddah-nya tiga bulan. Ketentuan ini berdasarkan Al-Qur’an surah At-Talaq; 65: 4
c.       Bagi istri yang sedang mengandung, masa iddahnya ialah sampai dengan melahirkan kandunganya. Ketentuan ini bedasarkan Al-Qur’an surah At-Talaq, 65:4.
2.      RUJUK
Rujuk berarti kembali yaitu, kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana  semula, selama istrinya masih berada dalam masa iddah raj’iyah.( lihat QS. Al-Baqarah, 2:228)
Hukum rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi, hukum rujuk bias berubah, sebagai berikut:
1.      Sunah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.
2.      Wajib, misalnya bagi suami yang mentalak salah seorang istrinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.
3.      Makruh (dibenci), apabila meneruskan perceraian lebih bermanfaat dari pada rujuk.
4.      Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.
Rukun rujuk ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa‘iddah raj’iyah.
2.      Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.
3.      Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. Ketentuan itu berdasarkan Al-Qur’an surat At-Talaq, 65: 2.
4.      Ada sigat  atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah, “Saya rujuk kepada engkau!”.

C.     HIKMAH PERNIKAHAN
Fuqaha (ulama fiqih) menjelasakan tentang hikmah-hikmah pernikahan yang islami, antara lain:
1.      Memenuhi kebutuhan seksual dengan cara yang di ridhai Allah (cara yang islami), dan menghindari cara yang di murkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau lesbian).
Pemenuhan kebutuhan seksual dengan cara yang diridhai Allah tentu akan mendatangkan banyak manfaat (lihat Q.S Ar-Rum, 30: 21).
Sedangkan pemenuhan kebutuhan seksual dengan cara yang dimurkai Allah SWT tentu akan mendatangkan bencana.
1.      Pernikahan merupakan cara yang benar, baik dan diridhai Allah untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan yang sah. Rasulullah bersabda, “Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak karena saya akan bangga, sebagai Nabi yang memiliki umat yang banyak dibandingkan dengan Nabi-Nabi yang lain di akhirat kelak.”  (H.R. Ahmad bin Hanbal)
2.      Melalui pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab membaginya dalam rangka memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan motivasi yang kuat untuk membahagiakan orang yang menjadi tanggung jawabnya. Bila dalam suatu rumah tangga, suami dan istri telah melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, tentu rumah tangganya akan menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (damai sejahtera, saling mengasihi dan menyayangi).  
3.      Pernikahan adalah salah satu upaya untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup, khususnya dalam kehidupan keluarga, seperti dalam surat Ar-Rum: 21

Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 

karena itu, Allah SWT. Menganugrahkan perasaan kasih sayang diantara keduanya.

pernikahan dapat pula untuk membentengi diri dari perbuatan tercela. Setiap manusia dewasa yang normal, secar pasti mengalami rasa tertarik  kepada lawan jenisnya. Islam sebagai agama fitrah pasti memberikan jalan keluar dengan disyariatkan pernikahan.
Dengan demikian, perasaan yang selalu menuntut pemenuhan ini disalurkan oleh islam dengan cara baik dan benar serta dapat terhindari dari perbuatan tercela seperti zina yang merupakan sumber malapetaka bagi manusia. Nabi Muhammad saw. Bersabda.
Yang artinya: sesungguhnya dengan nikah itu, dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan( kemaluan).”(HR Bukhari Muslim) .
Terbentuknya kelurga yang diakibatkan adanya pernikahan. Pada giliranya, manusia akan mengalami rasa tertarik. Masih banyak hikmah lain yang disebutkan.

D.    PERKAWINAN MENURUT  PERUNDANG-UNDANGAN- INDONESIA
Perundang-undangan perkawinan di Indonesia bersumber pada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Bidang Hukum Perkawinan tersebut, sebagai pengembangan dan penyempurnaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 bab, yang terbagi menjadi 67 pasal. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab, yang terbagi menjadi 170 pasal.
Hal-hal yang perlu diketahui dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan antara lain:
1.      Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 2 dan pasal 3 dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa pengertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan tujuan perkawinan ialah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

2.      Sahnya Perkawinan
Dalam pasal 4 dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukumanya dan kepercayaan itu.
Selanjutnya, penjelasan pasal 2 ayat (1) undang-undang republik Indonesia tahun 1974 mengatakan sebagai berikut:
–  Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan undang-undang dasar 1945.
–    Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
3.      Pencatatan perkawinan
Dalam pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan:
–       Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicacat.
–       Pencacatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencacat Nikah (Kantor Urusan Agama Kecamatan dimana calon mempelai bertempat tinggal).
–       Agar pelaksanaan pencacatan perkawinan itu dapat berlangsung dengan baik, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencacat Nikah.
–       Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencacat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.      Akta Nikah
Dalam pasal 7 ayat (1) dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencacat Nikah.
Akta Nikah atau Buku Nikah (Surat Nikah) adalah surat keterangan yang dibuat oleh Pegawai Pencacat Nikah yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan, tempat dilangsungkannya pernikahan yang menerangkan bahwa pada hari, tanggal, bulan, tahun dan jam telah terjadi akad nikah antara: seorang laki-laki (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan dan tempat tinggal) dengan seorang perempuan (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan dan tempat tinggal) dan yang menjadi wali ( juga dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan,  tempat tinggal dan apa hubungannya dengan yang diwalikan).

5.      Kawin Hamil
Dalam pasal 53 ayat (1), (2) dan (3) dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan:
(1). Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Hal-hal lain yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan adalah peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, poligami, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusya perkawinan, rujuk dan masa bergabung

Semoga bermanfaat….
Jangan lua share ya…

Alifjaisyul.blogspot.com

KLIK Ikuti untuk mendapatkan lebih banyak materi