Oleh : W. Dewanto, S.Pd.I
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS At Taubah : 122).
Urgensi Mencari Ilmu dan Memperdalam Agama (Tafaqquh Fiddin)
Sahabat Ummi, salah satu kunci sukses generasi terbaik binaan Rasulullah SAW; para sahabat ra, sehingga mereka mampu melakukan perubahan dalam peradaban dunia dan mendatangkan banyak kemenangan, kemajuan dan kejayaan di semua aspek kehidupan, termasuk keberhasilan dalam memanajemeni rumah tangga mereka, adalah semangat membara mereka dalam mencari ilmu dan tafaqquh fiddin.
Ayat di atas merupakan salah satu dari sekian banyak ayat Alquran yang menegaskan urgensi mencari ilmu dan tafaqquh fiddin. Bahkan, begitu amat pentingnya ilmu sampai-sampai lafazh ‘ilmu dan kata jadiannya disebut dalam Alquran sekitar 427 kali, mengalahkan penyebutan lafazh ‘salat’, ‘zakat’ dan lainnya.
Hal yang menarik, bahwa ayat tafaqquh fiddin ini berada di tengah-tengah pembahasan tentang jihad bil qital (perang) yang menjadi tema sentral dari surat At-Taubah dan banyak mendominasi ayat-ayatnya. Maka, sebelum ayat tersebut, Allah SWT menyinggung tentang perang Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H dan suasana yang menyelimuti kaum muslimin praperang maupun pascaperang, lalu pada ayat sesudahnya; QS At Taubah: 123, kembali Allah menyinggung perang. Hal ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa seorang mukmin tidak boleh terlalu asyik masyuk dengan satu bentuk ibadah, lalu melupakan ibadah yang lain. Melainkan, ia harus senantiasa tawazun (seimbang) dan syamil(menyeluruh dan utuh), dan tidak terperangkap dengan hal yang juz’i (parsial). Oleh karenanya, semangat mencari ilmu harus selalu dikobarkan dan tidak boleh padam dalam suasana segenting apa pun.
Jika di tengah kobaran semangat jihad yang menyala-nyala, Allah SWT mengingatkan pentingnya tafaqquh fiddin dan tidak boleh dilalaikan, apalagi aktivitas-aktivitas lainnya, tentu lebih tidak diperbolehkan lagi untuk meninggalkan mencari ilmu.
Kesibukan kita dalam jihad siyasi (politik) tidak boleh melunturkan semangat tafaqquh fiddin. Kesibukan kaum ibu dalam jihad ‘aaili (berjuang dalam mengurus rumah tangga) tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Kesibukan mencari nafkah juga tidak boleh membuat seorang mukmin tidak pernah mengalokasikan waktu guna mencari ilmu. Walhasil, tafaqquh fiddin tidak dibatasi oleh usia, waktu, tempat, situasi dan kondisi.
Sebab, ibadah apa pun termasuk jihad diperlukan bekal ilmu tentang aturan dan adab-adabnya sehingga profesional dan proporsional. Menyebarluaskan Islam (berda’wah) juga membutuhkan ilmu (pengetahuan) yang mencakup Fiqhu’l Ahkam (pengetahuan tentang hukum-hukum Islam juga dalil dll.) dan Fiqhu’d Da’wah (pengetahuan tentang realitas obyek da’wah dan lingkungannya) sehingga mendapatkan keberhasilan dan direspon secara positif.
Asbabun Nuzul (Sebab turunnya) Ayat
Ibnu Katsir rahimahullah meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Bahwa ketika turun ayat “Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih …” (QS At Taubah (9): 39), orang-orang munafik berkomentar, “Sungguh binasa orang-orang kampung yang tidak turut dan berangkat perang bersama Muhammad”. Hal ini ditujukan kepada beberapa orang sahabat Nabi SAW yang tetap tinggal di kampung halamannya mengajari kaumnya tentang urusan agama, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat 122 dari surat At Taubah di atas (Tafsir Ibnu Katsir III/65).
Versi riwayat lain menyebutkan, Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Di saat Allah mengancam dengan keras orang-orang yang tidak berangkat untuk berperang, mereka kemudian bertekad sambil berkata, “Tidak akan ada seorang pun dari kami yang akan tinggal dan tidak ikut berangkat dalam suatu misi militer selama-lamanya”. Dan mereka benar-benar membuktikan ucapannya sehingga semuanya berangkat dan membiarkan Rasulullah SAW tinggal sendirian, maka turunlah ayat tersebut (At Tafsir Al Munir, DR Wahbah Az Zuhaili XI/77).
Kedua riwayat di atas sesungguhnya menunjukkan pentingnya mencari ilmu dan tafaqquh fiddin. Oleh karenanya ia dihukumi Fardu Kifayah.
Ilmu itu Bukti Iman (Al ‘Ilmu Dalilu’l Iman)
Penyebutan orang-orang mukmin di atas menunjukkan, bahwa bukti keimanan seseorang adalah selalu semangat mencari ilmu dan tafaqquh fiddin. Sebab, ilmu yang benar akan meningkatkan grafik keimanan seseorang sebagaimana firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat, bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS Saba’ (34): 6).
Ilmu itu kehidupan dan cahaya, sementara Al Jahl (kebodohan) itu kematian dan kegelapan. Adalah hal yang aksiomatis,bahwa semua keburukan itu penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan dan cahaya, sedang semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan. Perhatikan firman Allah TA’aala:
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?” (QS Al An’aam (6): 122).
Di antara kiat sukses para sahabat Nabi SAW dalam tafaqquh fiddin, terlihat dalam bentuk dan fenomena berikut:
- Semangat mereka untuk hadir dalam majlis Rasulullah SAW di tengah kesibukan mereka dalam menggembala, berdagang, bertani dll. Jika sebagian mereka berhalangan, maka mereka bersepakat dengan kawannya untuk saling bergiliran seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab RA dengan tetangganya dari kaum Anshar (Lihat HR Bukhari I/33 dan Muslim II/1108-1110 no. 31).
- Mendengarkan dengan khusyuk (Inshaat) dan konsentrasi penuh agar mereka tidak ketinggalan sedikit pun dari ilmu yang Nabi SAW sampaikan (Lihat HR At Tirmidzi dalam Asy Syamaa-il Al Muhammadiyah hal. 375).
- Bertanya terhadap apa yang tidak mereka pahami.
- Mendengarkan dari teman-teman sebayanya yang lebih hafal.
- Menulis apa yang mereka dengarkan dari Nabi SAW.
- Menghafal apa yang didapat dari Nabi SAW.
- Semangat untuk saling bertanya dengan sesama mereka.
Selanjutnya Allah SWT di dalam ayat di atas menyinggung buah dan hasil dari ilmu dan tafaqquh fiddin yang hakiki yaitu amal, aksi dan kerja yang konkret: “untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Inilah buah dari ilmu yang manfaat. Sebab, penyakit kebanyakan orang adalah berilmu tapi tidak diamalkan dan disosialisasikan, atau mengamalkan lawan dari apa yang ia ketahui. Dan inilah penyakit yang sangat ditakuti oleh Nabi SAW sehingga beliau selalu berdoa sepanjang waktu kepada Allah SWT: “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfa’at …” (HR Muslim IV/2088 no. 2722)
Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik sedekah adalah ketika seorang muslim mempelajari suatu ilmu pengetahuan, kemudian mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim” (At Targhib wat Tarhib, Al Mudziri I/98).
Maka, semoga keimanan kita termasuk keimanan yang mampu menyemangati kita untuk senantiasa mencari ilmu dan tafaqquh fiddin di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Amin.....
Alhamdulillah,,,,dapat ilmu bagi yg baca.
jangan lupa share yaahh,,,biar berkah.
"dHe_I Like Your Style"
No comments:
Post a Comment